There is no problem given out from your ability

Rabu, 03 April 2013

Sejarah Kota Pekalongan


Kota Pekalongan adalah salah satu kota di pesisir pantai utara Provinsi Jawa Tengah. Kota ini berbatasan dengan laut jawa di utara, Kabupaten Pekalongan di sebelah selatan dan barat dan Kabupaten Batang di timur. Kota Pekalongan terdiri atas 4 kecamatan, yakni Pekalongan Utara, Pekalongan Barat, Pekalongan Selatan dan Pekalongan Timur. Kota Pekalongan terletak di jalur pantai Utara Jawa yang menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya. Kota Pekalongan berjarak 384 km di timur Jakarta dan 101 km sebelah barat Semarang. Kota Pekalongan mendapat julukan kota batik. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bahwa sejak puluhan dan ratusan tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah. Akibatnya batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan. Batik telah menjadi nafas penghidupan masyarakat Pekalongan dan terbukti tetap dapat eksis dan tidak menyerah pada perkembangan jaman, sekaligus menunjukkan keuletan dan keluwesan masyarakatnya untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran baru.
Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan menurut data yang tercatat di Deperindag, motif batik itu ada yang dibuat 1802, seperti motif pohon kecil berupa bahan baju.
Perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang Diponegoro atau perang Jawa pada tahun 1825-1830. Terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton Mataram serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan terbesar ke Timur dan Barat. Di daerah-daerah baru itu mereka kemudian menggembangkan batik. Ke arah timur berkembang dan mempengaruhi batik yang ada di Mojokerto, Tulunggagung, hingga menyebar ke Gresik, Surabaya, dan Madura. Sedangkan ke barat berkembang di banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah berkembang sebelumnya semakin berkembang, Terutama di sekitar daerah pantai sehingga Pekalongan kota, Buaran, Pekajangan, dan Wonopringgo.
Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik. Sehingga tumbuh beberapa jenis motif batik hasil pengaruh budaya dari berbagai bangsa tersebut yang kemudian sebagai motif khas dan menjadi  identitas batik Pekalongan. Motif Jlamprang diilhami dari Negeri India dan Arab. Motif Encim dan Klenengan, dipengaruhi oleh peranakan Cina. Motif Pagi-Sore dipengaruhi oleh orang Belanda, dan motif Hokokai tumbuh pesat pada masa pendudukan Jepang.
Kota Pekalongan memiliki pelabuhan perikanan terbesar di Pulau Jawa. Pelabuhan ini sering menjadi transit dan area pelelangan hasil tangkapan laut oleh para nelayan dari berbagai daerah. Selain itu Kota Pekalongan banyak terdapat perusahaan pengolahan hasil laut,seperti ikan asin, ikan asap, tepung ikan, terasi, sarden, dan kerupuk ikan, baik perusahaan bersekala besar maupun industri rumah tangga.
Kota Pekalongan terkenal dengan nuansa religiusnya, karena mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Ada beberapa adat tradisi di Pekalongan yang tidak dijumpai di daerah lain semisal; syawalan, sedekah bumi, dan sebagainya. Syawalan adalah perayaan tujuh hari setelah Idul Fitri dan disemarakkan dengan pemotongan lopis raksasa untuk kemudian dibagi-bagikan kepada para pengunjung.
Nama Pekalongan sampai saat ini belum jelas asal-usulnya, belum ada prasasti atau dokumen lainnya yang bisa dipertanggungjawabkan, yang ada hanya berupa cerita rakyat atau legenda. Dokumen tertua yang menyebut nama Pekalongan adalah Keputusan Pemerintah Hindia Belanda (Gouvernements Besluit) Nomer 40 tahun 1931:nama Pekalongan diambil dari kata “Halong” (dapat banyak) dan dibawah simbul kota tertulis “Pek-Alongan”.
Kemudian berdasarkan keputusan DPRD Kota  Besar Pekalongan tanggal 29 januari 1957 dan Tambahan Lembaran  daerah Swatantra Tingkat I Jawa Tengah tanggal 15 Desember 1958, Serta persetujuan Pepekupeda Teritorium 4 dengan SK Nomer KTPS-PPD/00351/II/1958:nama Pekalongan berasal dari kata “A-Pek-Halong-An” yang berarti pengangsalan (Pendapatan).
Pada masa VOC (abad XVII) dan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, sistem Pemerintahan oleh orang pribumi tetap dipertahankan. Dalam hal ini Belanda menentukan kebijakan dan prioritas, sedangkan penguasa pribumi ini oleh VOC diberi gelar Regant (Bupati). Pda masa ini, Jawa Tengah dan jawa Timur  dibagi menjadi 36 kabupaten Dengan sistem Pemerintahan Sentralistis
Pada abad XIX dilakukan pembaharuan pemerintahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang tahun 1954 yang membagi Jawa menjadi beberapa Gewest/Residensi. Setiap Gewest mencakup beberapa afdelling (setingkat kabupaten) yang dipimpin oleh asisten Residen, Distrik (Kawadenan) yang dipimpin oleh Controleur, dan Onderdistrict (Setinkat kecamatan) yang dipimpin Aspiran Controleur.
Di wilayah jawa Tengah terdapat lima Gewest, Yaitu:
Semarang gewest yang terdiri dari semarang, Kendal, Demak, Kudus, Pati, Jepara dan Grobongan.
Rembang Gewest yang terdiri dari Rembang, Blora, Tuban, dan Bojonegoro
Kedu Gewest yang terdiri dari Magelang,Temanggung,Wonosobo,Purworejo,Kutoarjo, Kebumen,dan karanganyar.
Banyumas Gewest yang terdiri dari Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga.
Pekalongan gewest terdiri dari Breber, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang.
Pada pertengahan abad XIX dikalangan kaum liberal Belanda muncul pemikiran etis-selanjutnya dikenal sebagai Politik Etis – yang menyerukan Program Desentralisasi Kekuasaan Administratip yang memberikan hak otonomi kepada setiap Karesidenan (Gewest) dan Kota Besar (Gumentee) serta pemmbentukan dewan-dewan daerah di wilayah administratif tersebut. Pemikiran kaum liberal ini ditanggapi oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dengan dikeluarkannya Staatbland Nomer 329 Tahun 1903 yang menjadi dasar hukum pemberian hak otonomi kepada setiap residensi (gewest); dan untuk Kota Pekalongan, hak otonomi ini diatur dalam Staatblaad Nomer 124 tahun 1906 tanggal 1 April 1906 tentang Decentralisatie Afzondering van Gelmiddelen voor de Hoofplaatss Pekalongan uit de Algemenee Geldmiddelen de dier Plaatse yang berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menandatangani penyerahan kekuasaan kepada tentara Jepang. Jepang menghapus keberadaan dewan-dewan daerah, sedangkan Kabupaten dan Kotamadya diteruskan dan hanya menjalankan pemerintahan dekonsentrasi.
Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus oleh dwitunggal Soekarno-Hata di Jakarta, ditindaklanjuti rakyat Pekalongan dengan mengangkat senjata  untuk merebut markas tentara Jepang pada tanggal 3 Oktober 1945. Perjuangan ini berhasil, sehingga pada tanggal 7 Oktober 1945 Pekalongan bebas dari tentara Jepang.
Secara yuridis formal, Kota Pekalongan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomer 16 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950 tentang Pembentukan Daerah Kota Besar dalam lingkungan Jawa Barat/Jawa Tengah/Jawa Timur dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Selanjutnya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, maka Pekalongan berubah sebutannya menjadi Kotamadya Dati II Pekalongan.
Terbitnya PP Nomer 21 Tahun 1988 tanggal 5 Desember 1988 dan ditinjaklanjuti dengan Inmendagri Nomor 3 Tahun 1989 merubah batas wilayah Kotamadya Dati II Pekalongan sehingga luas wilayahnya berubah dari 1.755 Ha menjadi 4.465,24 Ha dan terdiri dari 4 Kecamatan, 22 desa dan 24 kelurahan.
Sejalan dengan era reformasi yang menuntut adanya reformasi disegala bidang, diterbitkan PP Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomer 32 Tahun 2004 yang mengubah sebutan Kotamadya Dati II Pekalongan menjadi Kota Pekalongan.
Read MoreSejarah Kota Pekalongan

Tentang Shalat Jum'at


SHALAT JUM’AT



A.  Arti Definisi / Pergertian Shalat Jumat.
Shalat Jum'at adalah ibadah shalat yang dikerjakan di hari jum'at dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.

B.  Hukum Shalat Jum'at.
Shalat Jum'at memiliki hukum wajib 'ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, shalat jumat tidaklah wajib hukumnya.
Shalat jum’at bukan pengganti shalat dzuhur. Orang yang ketinggalan wajib mendirikan shalat dzuhur empar raka’at.

C.  Waktu shalat Jum’at
Waktu shalat Jum’at sama dengan waktu shalat dzuhur, yaitu sejak matahari tergelincir hingga ukuran bayangan suatu benda sama dengan bendanya. Jadi, menurut Hanafiah dan Syafi’iah, shalat Jum’at tidak sah dilaksanakan sebelum atau sesudah waktu ini. Hambaliah dan Malikiah menyangkal pendapat ini. Apabila waktunya habis, sedangkan orag-orang masih melaksanakan shalat Jum’at, ulama berbeda pendapat tentang sah-tidaknya shalat itu. Menurut Hanafiah, shalat mereka batal dengan habisnya waktu sebab mereka telah kehilangan syarat sekalipun mereka sudah duduk dalam tasyahud. Menurut Syafi’iah, jamaah yang mendirikan shalat jum’at ketika waktunya masih sangat cukup, tetapi mereka memanjangkan shalat hingga waktunya habis, shalat mereka tidak batal. Namun, hendaknya shalat itu disempurnakan empat rakaat menjadi shalat dzuhur tanpa menambah niat shalat dzuhur. Jadi, imam yang memimpin shalat hendaknya menyamarkan sisa bacaannya. Haram bagi mereka membatalkan shalat guna memulai shalat dzuhur dari awal. Apabila mereka memulai shalat jum’at setelah waktunya sempit dengan dugaan bahwa waktunya masih cukup, tetapi ternyata tidak sehingga waktunya habis ketika mereka tangah melaksanakan shalat Jum’at, shalat itu batal dan tidak boleh dialihkan menjadi shalat dzuhur.
Menurut Hambaliah, apabila mereka memulai shalat jum’at pada akhir waktu, kemudian waktunya habis, sedangkan mereka masih melaksanakan shalat, hendaklah mereka tetap menyempurnakan shalat jum’at itu. Adapun menurut Malikiah, jika shalat jum’at dimulai pada saat yang masih diyakini bisa dilakukan dengan sempurna, tetapi ternyata matahari terbenam sebelum shalat itu selesai dan sudah mendirikan satu rakaat, silahkan sempurnakan hingga akhir. Akan tetapi, boleh juga disempurnakan menjadi empat rakaat shalat dzuhur.

D.  Syarat Sah Melaksanakan Shalat Jumat
1.      Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk shalat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan shalat jum'at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.
2.      Minimal jumlah jamaah peserta shalat jum'at adalah 40 orang.
3.      Shalat Jum'at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.


  1. Ketentuan Shalat Jumat
Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut :
1.      Mengucapkan hamdalah.
2.      Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3.      Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4.      Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5.      Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6.      Membaca doa.


  1. Hikmah Shalat Jum'at
1.  Simbol persatuan sesama Umat Islam dengan berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
2.    Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia.
3.   Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
4.      Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
5.      Sebagai syiar Islam.

  1. Sunat-Sunat Shalat Jumat
1.      Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at.
2.  Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
3.      Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4.      Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5.      Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6.   Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
Read MoreTentang Shalat Jum'at

Sejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits (Makalah Ulumul Hadits)


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
            Jumhur Ulama  berpendapat bahwa hadits Nabi Muhamma SAW yang melarang penulisan hadits tersebut sudah dinaskh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya.
            Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
            Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.
            Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

B.   Rumusan Masalah
Untuk mempermudah dalam memahami sejarah pembukuan hadits dan permasalahannya, dalam makalah ini, kami membahas tentang :
1.      Sejarah  penulisan  dan pembukuan hadits.
2.      Masalah-masalah dalam penulisan dan pembukuan hadits.
3.      Latar belakang pemalsuan hadits dan upaya penyelamatannya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Sejarah Penulisan dan Pembukuan  Hadits
Pada abad pertama Hijriyah, mulai dari zaman Rasulullah SAW, masa khulafa rasyidin dan sebagian besar zaman umawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah, hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya. Pada masa ini mereka belum terdorong untuk membukukannya.
Ketika kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H sebagai seorang khalifah dari dinasti umawiyah yang terkenal adil, sehingga beliau dipandang sebagai khalifa rasyidin yang kelima, tergeraklah hati untuk membukukan hadits. Beliau sadar bahwa  para perawi yang membendaharakan hadits  dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan hadits dari para perawinya, memungkinkan hadits-hadits tersebut itu akan lenyap dari muka bumi ini.
Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta  kepada Gubernur Madinah, Abu bakar bin Muhammad binAmr bin Hazm untuk membukukan hadits Rasul  dan hadits-hadits yang ada pada Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddieq.
‘Umar bin Abdil Aziz menulis kepada Abu Bakar bin Hazm, yang bunyinya :

‘’Lihat  dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah SAW, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan hendaklah Anda sebarkan ilmu dan mengadakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikan barang rahasia.”

Disamping itu ‘Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur ke wilayah yang di bawah kekuasaannya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama yang diam di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah itu ialah : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az Zuhry, seorang tabi’in yang ahli dalam urusan fikih dan hadits.[1]
Kitab hadits yang ditulis oleh ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama yang ditulis atas perintah kepala negara tidak sampai kepada kita, tidak terpelihara dengan semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah. Membukukan hadits yang ada di Madinah itu, dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Muslim bin  Syihah az Zuhry yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadits di masanya.
Kemudian dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran Abu Abbas as Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-khalifah  abbasiyah.
Pada zaman dahulu menyusun hadits tidak diberi upah, jangankan upah, tidak disuruh juga mereka dengan senang hati  menyusun hdits tanpa meminnta  imbalan. Karena mereka berfikir/berkata bahwa inilah hasil dari fikiran mereka, ddan ini bukanlah suattu pekerjaan yang hharus diberi upah. Ulamma’ zaman dahulu benar-benar berbeda dengan ulama’ zaman sekarang, mereka benar-benar berjuang di jalan Allah dan tidak mengharapkan imbalan apapun.

Para pengumpul pertama hadits yng tercatat sejarah adalah :
a.       Di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H=  669 M – 150 H 767 M).
b.      Di kota Madinah, Ibnu Ishaq (.....H = 151 M..... H=768 M), atau Ibnu Dzi’bin. Atau Malik bin Anas ( 93 H = 703 M – 179 H = 798 M ).
c.       Di kota Bashrah, al Rabi’ bin Shabih (.....H =.....M – 160 H = 777 M). Atau Hammad bin Salamah ( 176 H ), atau Sa’id bin Arubah ( 156 H= 773 M ).
d.      Di Kufah, Sufyan ats Tsaury ( 161 H ).
e.       Di Syam, al  Auza’y (156 H ).
f.       Di Wasith, Husyaim al Wasithy ( 104 H = 772 M – 188 H = 804 M ).
g.      Di Yaman , Ma’mar al Azdy (95 H = 753 M -153 H = 770 M ).
h.      Di Rei, Jarir al Dlabby ( 110 H = 728 M – 188 H = 804 M ).
i.        Di Khurasan, bin Mubarak (118 H = 735 M  - 18 H = 797 M ).
j.        Di Mesir, al Laits bin Sa’ad ( 175 M  ).

Kitab yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini ialah al Muwaththa’ susunan Imam Malik r.a. ats permintaan khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H ( 143 H ).
Kitab al Muwaththa’ dianggap paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih tinggi daripada kitab-kitab sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhory belum muncul, dari sistematika itu yang paling baik.

B.   Sistem Ulama-ulama Abad Kedua Membukukan Hadits

Para  ulama abad kedua membukukan hadits dengan  tidak menyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam bukunya itu, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama-sama. Maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu’.

C.   Masa-masa Hadits di Bukukan

a.       Masa pembentukan hadits.
Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad SAW  itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. Periode ini disebut al wahyu wa at takwin, yaitu hadits yang penyampaiannya belum ditulis/masih lisan, hanya masih dalam benak mereka. Periode ini dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya ( 610 M – 632 ).

b.      Masa penggalian.
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
c.       Masa penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat  dan tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum  pernah dimiliki sebelumnya, diteliti secermat-cermatnya, siapaa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan khalifah  ‘Umar bin ‘Abdul  ‘Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupahan hadits marfu’, mana yang mauquf, dan mana yang maqthu’.

d.      Masa penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pentadwinan ( pembukuan ) dan penyusunan hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai perilaku Nabi Muhammad SAW, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ ( yang berisi perilaku Nabi Muhammad ), mana yang mauquf ( berisi perilaku sahabat ) dan mana yamg maqthu’ (berisi perilaku tabi’in ). Usaha  pembukuan hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih  (koreksi/verifikasi ) atas hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai hadits. Sedangkan abad 5 H dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun untuk memudahkan mempelajari dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad 4 H.[2]

e.       Masa pembukuan hadits  ( dari abad ke-2 H – abad ke-3 H )
Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az Zuhri pada sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama’ hadits pada pertengahan abad II H. Perintah kewarganegaraan  mengenai pengumpulan hadits di atas dari khalifah II Abasyiah di Baghdad, yaitu Abu Ja’far al-Mansur yang memerintah selama 22 tahun (136 – 158 H ). Perintah ini ditujukan kepada Malik bin Anas sewaktu berkunjung ke Madinah dalam rangka ibadah haji.
Banyak ulama’ hadits yang menghimpun bersamaan dengan kegiatan  ulama’ dalam bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam dan sebagainya. Karena itu masa ini dikenal  dengan “Ashrulal-Tadwin” ( masa pembukuan ). Karya ulama’ pada masa ini masih bercampur antara hadits rasul dan fatwa sahabat serta tabi’in, bahkan mereka belum mengklasifikasikan antara hadits sahih, hasan dan dlo'if.
Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain dalam satu karangan.
Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang memalsukan hadits, yaitu :
1.      Golongan politik : permulaan abad II H, dari golongan Abbasiyah, syiah dan lain-lain yang bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
2.      Golongan tukang cerita : mereka mengarang hadits palsu untuk menambah hebat ceritanya dan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.
3.      Golongan zindik : mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah dan kekacauan di golongan umat Islam.
Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama’ pada masa ini mengadakan perjalanan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran hadits dan meneliti sumber-sumbernya. Sehingga pada masa ini muncul kritikus hadits yang terkenal seperti Yahya bin said bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi.
f.       Kendala pembukuan hadits
Terdapat beberapa kendala dalam pembukuan hadits, antara lain :
1.      Karena adanya orang-orang yang membuat hadits palsu
2.      Ulama’ tidak/belum memperhatikan dhoif, shahih/hasan, yang penting itu sumbernya dari Rasulullah SAW
3.      Memisahkan hadits maudu’ saja, yang lain tidak
4.      Untuk memverifikasi kebenaran orangnya, ketika hal ini sudah, ya sudah, yang lain tidak diurus.

D.   Kedudukan dan Keadaan Kitab-kitab hadits abad ke II H
Di antara kitab-kitab abad kedua yang mendapat perhatian umum ulama adalah :
1.      Al Muwaththa’.
2.      Al Musnad, susunan al Imam asy Syafi’y.
3.      Mukhtaliful Hadits.
4.      As Siratun Nabawiyah ( al Maghazi wal Siyar ).
Al Muwaththa’ yang paling terkenal dari kitab-kitab hadits abad kedua dan mendapat sambutan yang besar sekali dari para ulama. Kitab ini mengandung 1726 rangkain khabar dari Nabi SAW, dari sahabat dan dari tabi’in.[3] Kitab ini mendapat perhatian dari para ahli, karena itu banyak yang membuat syarahnya dan yang membuat mukhtasarnya.
Adapun tingkat dan derajat hadits-hadits al-Muwaththa’ itu berbeda-beda. Ada di antaranya yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang dla’if. Asy-Syafi’y pernah berkata, “Kitab yang paling shahih sesudah Al-Qur’an, ialah Al Muwaththa’.”
Mukhaliful Hadits adalah sebuah kitab asy-Syafi’y yang penting. Di dalamnya di terangkan cara-cara menguatkan sunnah dan cara-cara yang mengharuskan kita menerima hadits ahad. Adapun didalamnya di terangkan pula cara-cara  menyesuaikan hadits-hadits yang terlihat bertentangan satu sama lainnya. Di dalamnya terdapat pula hasil perdebatan asy-Syafi’y dengan Muhammad bin al Hasan dan lain-lain.



E.   Pemisahan Hadits-hadits Tafsir dan Hadits-hadits Sirah
Di dalam abad yang kedua ini, mulai dipisahkan hadits-hadits tafsir dari umum hadits dan mulai pula dipisahkan hadits-hadits sirah dan maghazinya. Maka yang mula-mula memisahkan hadits-hadits sirah, ialah Muhammad bin Ishaq bin Yassar al Muththalaby (151 H). Lalu kitab ini terkenal dengan nama Sirah ibnu Hisyam.



F.    Hadits dalam Abad Ketiga
Ahli abad ketiga ketika mereka bangkit mengumpulkan hadits, mereka memisahkan hadits dari fatwa-fatwa itu. Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits berdasarkan statusnya. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus kita akui, ialah mereka tidak  memisah-misahkan hadits. Yakni mereka mencampurkan hadits shahih dengan hadits hasan dan dengan hadits dla’if. Segala hadits yang mereka terima, dibukukan dengan tidak menerangkan keshahihannya.
Dapat kita katakan bahwa besar kemungkinan, Shahifah Abu bakar bin Hazm membukukan hadits saja mengingat perkataan ‘Umar kepadanya : 

“Jangan Anda terima melainkan hadits Rasul SAW”

Awal mulanya kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di kota mereka masing-masing. Namun, keadaan ini dipecahkan oleh al Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maroko, Naisabur, Baghdad, Makah, Madinah dan masih banyak lagi kota yang ia kunjungi.
Beliau membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar diberbagai daerah. 16 tahun lamanya al Bukhary menjelajah untuk menyiapkan kitab shahihnya.

B.   Masalah-masalah dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits.

a.       Latar belakang mulai timbulnya pemalsuan hadits.
Di antara hal yang tumbuh dalam masa ketiga ini ialah muncul orang-orang yang membuat hadits-hadits palsu. Hal itu terjadi sesudah Ali r.a. wafat. Sejak dari timbul  fitnah di akhir masa ‘Usman r.a. umat Islam pecah menjadi beberapa golongan.
- Pertama : golongan Ali bin Thalib, yang kemudian dinamakan golongan “Syiah”.
- Kedua : golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah.
- Ketiga : golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu ).

Terpecahnya umat Islam tersebut, didorong keperluan dan kepentingan golongan, mereka mendatangkan  keterangan hujjah untuk mendukung. Maka bertindaklah mereka membuat hadits-hadits palsu dan menyebarkannya kedalam masyarakat.
Mulai saat itu, terdapatlah riwayat-riwayat yang shahih, dan riwayat-riwayat yang palsu, dan kian hari kian bertambah banyaknya. Awal mula yang melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan syi’ah sebagaimana yang diakui sendiri oleh Bin Abdil Hadid, seorang ulama syi’ah dalam kitabnya Nahlul Balaghah, dia menulis, “Ketahuilah bahwa asal mula timbul hadits yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah golongan syi’ah sendiri.”
Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan sunnah (jumhur) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits untuk mengimbangi  hadits-hadits yang dibuat oleh golongan syi’ah. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu ialah Baghdad (kaum syiah berpusat di sana).

b.      Langkah-langkah yang diambil untuk memelihara hadits
Melihat adanya pemalsuan hadits yang berkembang dalam masyarakat, bergeraklah para ulama untuk membela syari’at dan memelihara agama Islam. Mereka berusaha menyaring dan menepis hadits-hadits yang diriwayatkannya itu. Hadits-hadits yang shahih mereka ambil dan hadits-hadits yang diduga palsu (dho’if) mereka tinggalkan. Mulai saat itu timbullah ilmu yang dinamakan ilmu jarh wa ta’dil. Para ulama  menerangkan kejelekan-kejelekan pemalsuan hadits dan menyuruh manusia untuk berhati-hati, serta menerangkan hadits palsu dan motif pembuatan hadits palsu.
Telah dijelaskan bahwa di samping para ulama’ membukukan hadits dan memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in atau memisahkan yang shahih dan dho’if, beliau-beliau itu memberikan pula kesungguhannya yang mengagumkan untuk menyusun kaidah-kaidah tahdis, usul-usulnya, syarat menerima riwayat, syarat menolaknya, syarat shahih dan dho’if, serta kaidah yang dipegangi dalam menentukan hadits ma’udu.


BAB III
PENUTUP

            Dengan memperhatikan apa yang telah diusahakan para ‘ulama dapatlah kita memantapkan, bahwa merekalah ilama’ yang mula-mula menciptakan undang-undang (Qowait) untuk membedakan yang baik dari yang buruk mengenai khobar-khobar dan riwayat-riwayat yang diterima dari antara  seluruh umat, karna memang ulama-ulama Islam sangat berhati-hati benar dalam soal menerima berita yang disampaikan kepadanya.
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunah rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara shahih dan dho’if, istimewa antara hadits-hadits yang ada asal usulnya dengan hadits-hadits yang semata-mata maudu’.







[1] Az Zuhry menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Saheh ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud bin al Rabi’, Sa’id bin Musaiyab dan Umamah bin Saheh.
[2] Shubhi ash Shaleh,’Ulum al-Hadits wa Musthalahuh (Libanon :Dar al-‘Iim al-Malayin, 1977), hal. 45.
[3] Perbedaan Musnad dengan Mushannaf, ialah msnad disusun haditsnya menurut nama perawi pertama, sedangkan mushannaf disusun menurut bab fiqih. Begitu juga sunan dan shihah.
Read MoreSejarah Penulisan dan Pembukuan Hadits (Makalah Ulumul Hadits)