BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada
masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis
hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada
masa itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga
menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Jumhur Ulama
berpendapat bahwa hadits Nabi Muhamma SAW yang melarang penulisan hadits
tersebut sudah dinaskh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits,
namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini
berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits
setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara
mereka yang wafat.
Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits,
yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri,
kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.
Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan
dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga
menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah
dan lain sebagainya.
B.
Rumusan
Masalah
Untuk
mempermudah dalam memahami sejarah pembukuan hadits dan permasalahannya, dalam
makalah ini, kami membahas tentang :
1. Sejarah penulisan
dan pembukuan hadits.
2. Masalah-masalah
dalam penulisan dan pembukuan hadits.
3. Latar
belakang pemalsuan hadits dan upaya penyelamatannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Penulisan dan Pembukuan Hadits
Pada
abad pertama Hijriyah, mulai dari zaman Rasulullah SAW, masa khulafa rasyidin
dan sebagian besar zaman umawiyah, yakni hingga akhir abad pertama Hijrah,
hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi
meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya. Pada masa ini mereka
belum terdorong untuk membukukannya.
Ketika
kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abdil Aziz yang dinobatkan pada tahun
99 H sebagai seorang khalifah dari dinasti umawiyah yang terkenal adil, sehingga
beliau dipandang sebagai khalifa rasyidin yang kelima, tergeraklah hati untuk
membukukan hadits. Beliau sadar bahwa
para perawi yang membendaharakan hadits
dalam kepalanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir
apabila tidak segera dibukukan hadits dari para perawinya, memungkinkan
hadits-hadits tersebut itu akan lenyap dari muka bumi ini.
Untuk
menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu bakar bin
Muhammad binAmr bin Hazm untuk membukukan hadits Rasul dan hadits-hadits yang ada pada Al Qasim bin
Muhammad bin Abi Bakar Ash Shiddieq.
‘Umar
bin Abdil Aziz menulis kepada Abu Bakar bin Hazm, yang bunyinya :
‘’Lihat
dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah SAW, lalu
tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan
jangan anda terima selain dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan hendaklah Anda
sebarkan ilmu dan mengadakan majlis-majlis ilmu supaya orang yang tidak
mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikan
barang rahasia.”
Disamping
itu ‘Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur ke wilayah yang di bawah
kekuasaannya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama yang diam di
wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas
kemauan khalifah itu ialah : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin
Syihab az Zuhry, seorang tabi’in yang ahli dalam urusan fikih dan hadits.[1]
Kitab
hadits yang ditulis oleh ibnu Hazm yang merupakan kitab hadits yang pertama
yang ditulis atas perintah kepala negara tidak sampai kepada kita, tidak
terpelihara dengan semestinya. Dan kitab itu tidak membukukan seluruh hadits
yang ada di Madinah. Membukukan hadits yang ada di Madinah itu, dilakukan oleh
al-Imam Muhammad bin Muslim bin Syihah
az Zuhry yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama
hadits di masanya.
Kemudian
dari itu, berlomba-lombalah para ulama besar membukukan hadits atas anjuran Abu
Abbas as Saffah dan anak-anaaknya dari khalifah-khalifah abbasiyah.
Pada
zaman dahulu menyusun hadits tidak diberi upah, jangankan upah, tidak disuruh
juga mereka dengan senang hati menyusun
hdits tanpa meminnta imbalan. Karena
mereka berfikir/berkata bahwa inilah hasil dari fikiran mereka, ddan ini
bukanlah suattu pekerjaan yang hharus diberi upah. Ulamma’ zaman dahulu
benar-benar berbeda dengan ulama’ zaman sekarang, mereka benar-benar berjuang
di jalan Allah dan tidak mengharapkan imbalan apapun.
Para
pengumpul pertama hadits yng tercatat sejarah adalah :
a. Di
kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H= 669 M –
150 H 767 M).
b. Di
kota Madinah, Ibnu Ishaq (.....H = 151 M..... H=768 M), atau Ibnu Dzi’bin. Atau
Malik bin Anas ( 93 H = 703 M – 179 H = 798 M ).
c. Di
kota Bashrah, al Rabi’ bin Shabih (.....H =.....M – 160 H = 777 M). Atau Hammad
bin Salamah ( 176 H ), atau Sa’id bin Arubah ( 156 H= 773 M ).
d. Di
Kufah, Sufyan ats Tsaury ( 161 H ).
e. Di
Syam, al Auza’y (156 H ).
f. Di
Wasith, Husyaim al Wasithy ( 104 H = 772 M – 188 H = 804 M ).
g. Di
Yaman , Ma’mar al Azdy (95 H = 753 M -153 H = 770 M ).
h. Di
Rei, Jarir al Dlabby ( 110 H = 728 M – 188 H = 804 M ).
i.
Di Khurasan, bin Mubarak (118 H = 735
M - 18 H = 797 M ).
j.
Di Mesir, al Laits bin Sa’ad ( 175
M ).
Kitab
yang paling tua yang ada di tangan umat Islam dewasa ini ialah al Muwaththa’ susunan Imam Malik r.a. ats
permintaan khalifah Al Manshur ketika dia pergi naik haji pada tahun 144 H (
143 H ).
Kitab
al Muwaththa’ dianggap paling shahih, karena tingkat keshahihannya lebih tinggi
daripada kitab-kitab sebelumnya. Karena pada saat itu Imam Bukhory belum
muncul, dari sistematika itu yang paling baik.
B. Sistem
Ulama-ulama Abad Kedua Membukukan Hadits
Para ulama abad kedua membukukan hadits
dengan tidak menyaringnya. Mereka tidak
membukukan hadits-hadits saja, fatwa-fatwa sahabat pun dimasukkan ke dalam
bukunya itu, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan
bersama-sama. Maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits marfu’, hadits
mauquf dan hadits maqthu’.
C. Masa-masa
Hadits di Bukukan
a. Masa
pembentukan hadits.
Masa
pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad SAW itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun.
Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan
para sahabat saja. Periode ini disebut al
wahyu wa at takwin, yaitu hadits yang penyampaiannya belum ditulis/masih
lisan, hanya masih dalam benak mereka. Periode ini dimulai sejak Nabi Muhammad
diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya ( 610 M – 632 ).
b. Masa
penggalian.
Masa
ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi
Muhammad SAW pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadits belum
ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan
persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadits
dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
c. Masa
penghimpunan
Masa
ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima
hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang
bergeser ke bidang syari’at dan aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para
sahabat dan tabi’in ini sangat mengenal
betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan
tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya, diteliti
secermat-cermatnya, siapaa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadits itu.
Maka pada masa pemerintahan khalifah
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz sekaligus
sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini
terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang
merupahan hadits marfu’, mana yang mauquf, dan mana yang maqthu’.
d. Masa
penyusunan
Abad
3 H merupakan masa pentadwinan ( pembukuan ) dan penyusunan hadits. Guna
menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai
perilaku Nabi Muhammad SAW, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan
memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’
( yang berisi perilaku Nabi Muhammad ), mana yang mauquf ( berisi perilaku sahabat ) dan mana yamg maqthu’ (berisi perilaku tabi’in ).
Usaha pembukuan hadits pada masa ini
selain telah dikelompokkan juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi
pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih
(koreksi/verifikasi ) atas hadits yang ada maupun yang dihafal.
Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga
dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai
hadits. Sedangkan abad 5 H dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab
hadits seperti menghimpun untuk memudahkan mempelajari dengan sumber utamanya
kitab-kitab hadits abad 4 H.[2]
e. Masa
pembukuan hadits ( dari abad ke-2 H –
abad ke-3 H )
Usaha penulisan hadits yang dirintis
oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az Zuhri pada sekitar tahun 100 H,
diteruskan oleh ulama’ hadits pada pertengahan abad II H. Perintah
kewarganegaraan mengenai pengumpulan
hadits di atas dari khalifah II Abasyiah di Baghdad, yaitu Abu Ja’far al-Mansur
yang memerintah selama 22 tahun (136 – 158 H ). Perintah ini ditujukan kepada
Malik bin Anas sewaktu berkunjung ke Madinah dalam rangka ibadah haji.
Banyak ulama’ hadits yang menghimpun
bersamaan dengan kegiatan ulama’ dalam
bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam dan
sebagainya. Karena itu masa ini dikenal dengan “Ashrulal-Tadwin”
( masa pembukuan ). Karya ulama’ pada masa ini masih bercampur antara hadits
rasul dan fatwa sahabat serta tabi’in, bahkan mereka belum mengklasifikasikan
antara hadits sahih, hasan dan dlo'if.
Sistem pembukuan pada masa ini adalah
dengan menghimpun hadits mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian
dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain dalam satu karangan.
Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang
memalsukan hadits, yaitu :
1. Golongan
politik : permulaan abad II H, dari golongan Abbasiyah, syiah dan lain-lain
yang bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
2. Golongan
tukang cerita : mereka mengarang hadits palsu untuk menambah hebat ceritanya
dan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.
3. Golongan
zindik : mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah dan kekacauan di
golongan umat Islam.
Untuk menjaga kemurnian dan keaslian
hadits Nabi SAW, ulama’ pada masa ini mengadakan perjalanan ke daerah-daerah
untuk mengecek kebenaran hadits dan meneliti sumber-sumbernya. Sehingga pada
masa ini muncul kritikus hadits yang terkenal seperti Yahya bin said bin al-Qaththan
dan Abdurrahman bin Mahdi.
f. Kendala
pembukuan hadits
Terdapat beberapa kendala dalam
pembukuan hadits, antara lain :
1. Karena
adanya orang-orang yang membuat hadits palsu
2. Ulama’
tidak/belum memperhatikan dhoif, shahih/hasan, yang penting itu sumbernya dari
Rasulullah SAW
3. Memisahkan
hadits maudu’ saja, yang lain tidak
4. Untuk
memverifikasi kebenaran orangnya, ketika hal ini sudah, ya sudah, yang lain
tidak diurus.
D. Kedudukan
dan Keadaan Kitab-kitab hadits abad ke II H
Di
antara kitab-kitab abad kedua yang mendapat perhatian umum ulama adalah :
1. Al Muwaththa’.
2.
Al
Musnad, susunan al Imam asy Syafi’y.
3.
Mukhtaliful
Hadits.
4.
As
Siratun Nabawiyah ( al Maghazi wal Siyar ).
Al
Muwaththa’ yang paling terkenal dari kitab-kitab hadits abad
kedua dan mendapat sambutan yang besar sekali dari para ulama. Kitab ini
mengandung 1726 rangkain khabar dari Nabi SAW, dari sahabat dan dari tabi’in.[3]
Kitab ini mendapat perhatian dari para ahli, karena itu banyak yang membuat
syarahnya dan yang membuat mukhtasarnya.
Adapun tingkat dan derajat hadits-hadits
al-Muwaththa’ itu berbeda-beda. Ada
di antaranya yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang dla’if. Asy-Syafi’y
pernah berkata, “Kitab yang paling shahih sesudah Al-Qur’an, ialah Al
Muwaththa’.”
Mukhaliful
Hadits adalah sebuah kitab asy-Syafi’y yang penting. Di dalamnya
di terangkan cara-cara menguatkan sunnah dan cara-cara yang mengharuskan kita
menerima hadits ahad. Adapun didalamnya di terangkan pula cara-cara menyesuaikan hadits-hadits yang terlihat
bertentangan satu sama lainnya. Di dalamnya terdapat pula hasil perdebatan asy-Syafi’y
dengan Muhammad bin al Hasan dan lain-lain.
E. Pemisahan
Hadits-hadits Tafsir dan Hadits-hadits Sirah
Di
dalam abad yang kedua ini, mulai dipisahkan hadits-hadits tafsir dari umum
hadits dan mulai pula dipisahkan hadits-hadits sirah dan maghazinya. Maka yang
mula-mula memisahkan hadits-hadits sirah, ialah Muhammad bin Ishaq bin Yassar al
Muththalaby (151 H). Lalu kitab ini terkenal dengan nama Sirah ibnu Hisyam.
F. Hadits
dalam Abad Ketiga
Ahli
abad ketiga ketika mereka bangkit mengumpulkan hadits, mereka memisahkan hadits
dari fatwa-fatwa itu. Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits
berdasarkan statusnya. Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus kita akui,
ialah mereka tidak memisah-misahkan
hadits. Yakni mereka mencampurkan hadits shahih dengan hadits hasan dan dengan
hadits dla’if. Segala hadits yang mereka terima, dibukukan dengan tidak
menerangkan keshahihannya.
Dapat
kita katakan bahwa besar kemungkinan, Shahifah Abu bakar bin Hazm membukukan
hadits saja mengingat perkataan ‘Umar kepadanya :
“Jangan
Anda terima melainkan hadits Rasul SAW”
Awal
mulanya kebanyakan ulama Islam mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di kota
mereka masing-masing. Namun, keadaan ini dipecahkan oleh al Bukhary. Beliaulah
yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits.
Beliau pergi ke Maroko, Naisabur, Baghdad, Makah, Madinah dan masih banyak lagi
kota yang ia kunjungi.
Beliau
membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar diberbagai daerah. 16
tahun lamanya al Bukhary menjelajah untuk menyiapkan kitab shahihnya.
B.
Masalah-masalah
dalam Penulisan dan Pembukuan Hadits.
a. Latar
belakang mulai timbulnya pemalsuan hadits.
Di
antara hal yang tumbuh dalam masa ketiga ini ialah muncul orang-orang yang
membuat hadits-hadits palsu. Hal itu terjadi sesudah Ali r.a. wafat. Sejak dari
timbul fitnah di akhir masa ‘Usman r.a.
umat Islam pecah menjadi beberapa golongan.
-
Pertama : golongan Ali bin Thalib, yang kemudian dinamakan golongan “Syiah”.
-
Kedua : golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah.
-
Ketiga : golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu ).
Terpecahnya
umat Islam tersebut, didorong keperluan dan kepentingan golongan, mereka
mendatangkan keterangan hujjah untuk
mendukung. Maka bertindaklah mereka membuat hadits-hadits palsu dan
menyebarkannya kedalam masyarakat.
Mulai
saat itu, terdapatlah riwayat-riwayat yang shahih, dan riwayat-riwayat yang
palsu, dan kian hari kian bertambah banyaknya. Awal mula yang melakukan pekerjaan
sesat ini adalah golongan syi’ah sebagaimana yang diakui sendiri oleh Bin Abdil
Hadid, seorang ulama syi’ah dalam kitabnya Nahlul
Balaghah, dia menulis, “Ketahuilah bahwa asal mula timbul hadits yang
menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah golongan syi’ah sendiri.”
Perbuatan
mereka ini ditandingi oleh golongan sunnah (jumhur) yang bodoh-bodoh. Mereka
juga membuat hadits untuk mengimbangi
hadits-hadits yang dibuat oleh golongan syi’ah. Maka dapat diambil kesimpulan
bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu ialah Baghdad (kaum
syiah berpusat di sana).
b. Langkah-langkah
yang diambil untuk memelihara hadits
Melihat
adanya pemalsuan hadits yang berkembang dalam masyarakat, bergeraklah para ulama
untuk membela syari’at dan memelihara agama Islam. Mereka berusaha menyaring
dan menepis hadits-hadits yang diriwayatkannya itu. Hadits-hadits yang shahih
mereka ambil dan hadits-hadits yang diduga palsu (dho’if) mereka tinggalkan. Mulai saat
itu timbullah ilmu yang dinamakan ilmu jarh wa ta’dil. Para ulama menerangkan kejelekan-kejelekan pemalsuan
hadits dan menyuruh manusia untuk berhati-hati, serta menerangkan hadits palsu
dan motif pembuatan hadits palsu.
Telah
dijelaskan bahwa di samping para ulama’ membukukan hadits dan memisahkan hadits
dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in atau memisahkan yang shahih dan dho’if,
beliau-beliau itu memberikan pula kesungguhannya yang mengagumkan untuk
menyusun kaidah-kaidah tahdis,
usul-usulnya, syarat menerima riwayat, syarat menolaknya, syarat shahih dan
dho’if, serta kaidah yang dipegangi dalam menentukan hadits ma’udu.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Dengan memperhatikan apa yang telah
diusahakan para ‘ulama dapatlah kita memantapkan, bahwa merekalah ilama’ yang
mula-mula menciptakan undang-undang (Qowait) untuk membedakan yang baik dari
yang buruk mengenai khobar-khobar dan riwayat-riwayat yang diterima dari
antara seluruh umat, karna memang
ulama-ulama Islam sangat berhati-hati benar dalam soal menerima berita yang disampaikan
kepadanya.
Semua itu mereka
lakukan untuk memelihara sunah rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara
shahih dan dho’if,
istimewa antara hadits-hadits yang ada asal usulnya dengan hadits-hadits yang
semata-mata maudu’.
[1] Az Zuhry
menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Saheh ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud bin al
Rabi’, Sa’id bin Musaiyab dan Umamah bin Saheh.
[2] Shubhi ash Shaleh,’Ulum al-Hadits wa Musthalahuh (Libanon
:Dar al-‘Iim al-Malayin, 1977), hal. 45.
[3] Perbedaan Musnad dengan
Mushannaf, ialah msnad disusun haditsnya menurut nama perawi pertama, sedangkan
mushannaf disusun menurut bab fiqih. Begitu juga sunan dan shihah.
aduh man... backgroundnya jangan hitam donk... sulit nih bacanya
BalasHapusMakasih atas materinya. Silahkan kunjungi juga ya
BalasHapusMuttaqin
mantap. ijin kopas .. kopas
BalasHapus